Melihat Demokrasi Dengan Kacamata Hukum Pidana


Penulis : Dian Sandi Utama ( Ketua DPW PSI NTB)


UU ITE ini bermasalah, sudah sejak lama diperdebatkan, tiada lain kritik masyarakat ialah dianggap mengancam kehidupan berdemokrasi. Telah begitu banyak tokoh yang menyuarakan karena melihat dampaknya yang sangat serius sampai media detik menulisnya sebagai Undang-undang Pemakan Korban. 


Setiap frasa pada pasalnya ketika ada ada kasus selalu membutuhkan ahli, lantaran itulah pasal-pasal ini disebut pasal karet yang berbiaya mahal. Kita akan menjadi memahami; bagaimana orang biasa, aktivis dan masyarakat umum sukar sekali akan menang jika berhadapan dengan pasal tersebut. 


Maka ditengah keadaan seperti ini; kembalilah ia pada kedewasaan semua pihak untuk dapat lebih bijak menggunakannya, lebih-lebih lembaga Negara, lebih-lebih DPRD yang keberadaan orang didalamnya ialah merupakan utusan masyarakat.


Berpuluh-puluh masa dalam suasana feodalisme, berabad-abad dalam penindasan kolonialisasi dan berpuluh-puluh tahun dalam pembungkaman orde baru, akhirnyapun kita bisa merasa bebas untuk berbicara, berpendapat dan mengkritik segala sesuatu yang kita anggap keliru, namun hanya sebentar karena UU ITE berupaya menggugurkannya. 


Negara kita menganut sistem Demokrasi namun sekaligus disebut Negara hukum dimana semua berlandaskan pada hukum tentulah semua kebebasan tadi juga dibatasi oleh hukum. Maka mestinya kita bersama-sama menemukan bentuk ideal dari dua konsep yang sama-sama harus kita junjung tinggi tersebut.


Keadaan ini akan menjadi sangat mengerikan, kalau-kalau demokrasi sudah dilihat dengan menggunakan kacamata hukum pidana; dimana setiap kata, kalimat dan ucapan memiliki interpretasi berpotensi menjadi delik. Lembaga yang lahir menjadi penopang demokrasi semestinya dijauhkan dari kacamata itu. Namun DPRD NTB malah menggandeng orang-orang yang berlatar hukum pidana, absurd.


Saya telah mengkritik 65 isi Udayana yang memilih diam pada kasus yang menjerat aktivis dengan menyebut mereka, nantinya bisa dicap sebagai “Psikopat Demokrasi” lalu pada sebuah percakapan group karena pemberitaan tersebut saya seakan diancam oleh Guru Besar Hukum Pidana tersebut dan dikatakan bisa menjadi tersangka baru, karena kalimat yang saya lontarkan. Dengan segala hormat, saya anggap beliau lupa bahwa saya ini ialah pimpinan partai politik; legalitas saya jelas untuk berbicara demokrasi dan masa depannya.


Saya berdiri pada kesetujuan saya terhadap segala bentuk kritik pejabat publik nanunbsaya menolak jika pejabat publik difitnah secara individu. Saya belajar pada orang-orang yang memahami bagaimana Demokrasi ini bekerja. Gubernur NTB salah satunya; bagaimana beliau dipermalukan di sosial media, photonya dicoret, disilang merah dengan caption Gubernur PHP serta disematkan gelar Mr Of Alibi. Di WAG disebut menjual masyarakat miskin untuk kumpulkan uang Pilkada, dan banyak kritik lainnya namun beliau selalu membalas dengan menulis “itu tidak benar” tanpa harus melaporkan orang tersebut. Saya melihat jawaban singkat itu adalah bentuk upaya beliau menjaga kehidupan berdemokrasi di Nusa Tenggara Barat ditengah semakin menurunnya Indeks Demokrasi kita belakangan ini.


Pejabat kalau sedikit-sedikit melapor, penuhlah penjara. Karena sosmed isinya banyak cacian belakangan ini, itu sebab hukum yang baku ini harus dapat disikapi bijak oleh pejabat. Pejabat harus memahami perkembangan zaman, kita semua menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Tidaklah mungkin setiap kasus bisa mendapatkan pengampunan Presiden seperti kasus ITE-nya Baiq Nuril. Dewan Udayana mestinya tau semangat kenapa RKUHP revisi terbaru yang memuat pasal penghinaan terhadap pejabat publik dikaji untuk dihapus, karena hal-hal seperti itu sudah tidak relevan dengan kehidupan bermasyarakat dimasa sekarang.


Kalau nanti ada yang mengatakan DPRD idiot, bodoh atau tidak becus bekerja karena tidak dapat menyelesaikan Ranperda atau Tatib BK atau tidak bersuara pada hal-hal yang menindas masyarakat; pasti orang itu masuk penjara, yurisprudensi kata itu jadi delik pidana ada. Akhirnya dengan sangat terpaksa kita semua ini sekarang sedang menyerahkan setiap kalimat yang kita ucapkan untuk dinilai secara hukum pidana.


Terakhir saya ingin membagi pendapat Pakar Hukum Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad bahwa ditangan orang yang salah keberadaan UU ITE akan menganggu iklim demokrasi pada masyarakat yang tidak berdaya akan menurunkan daya kritis, maka hilanglah chek and balance terhadap kekuasaan.

0/Post a Comment/Comments