RAMADHAN DAN SPIRIT MODERASI (Mengurai Pesan Epik Moderasi Beragama Dalam Puasa Ramadhan)

Imron Hadi, M.H.I Dosen Prodi HKI Fakultas Syari'ah UIN Mataram
 
Oleh :
Imron Hadi, M.H.I ( Dosen Prodi HKI Fakultas Syari'ah UIN Mataram)

Topikntb.id -RAMADHAN adalah bulan suci bagi ummat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh, dengan menahan diri dari berbagai macam perbuatan yang dapat membatalkan puasa.

Puasa pada bulan Ramadhan tahun ini memberikan kesan dan pesan yang mendalam dalam konteks moderasi beragama. Sebab puasa yang dijalani ummat Islam tahun ini terjadi perbedaan mengenai awal pelaksanaan puasa antara Muhamadiyah dan pemerintah. 

Tidak itu saja, awal puasa yang dijalankan oleh saudara kita yang Muhamadiyah bertepatan dengan hari raya nyepi ummat Hindu yang indetik dengan tapa berate penyepian yang melarang ummatnya untuk bekerja, menyalakan api, bepergian dan bersenang-senang (Amati Karya, Amati Geni, Amati Lelungan Dan Amati Lelanguan). Tentunya hal tersebut berpengaruh terahadap aktifitas ritual ibadah puasa di bulan Ramadhan, dimana ummat Islam yang berdampingan hidup dengan ummat Hindu harus menahan diri untuk tidak menggunkan pengeras suara dalam tadarus al-Qur’an pada malam hari dan cukup melaksanakan ibadah sholat tarawih di rumah saja tidak keluar ke masjid karena bisa menggangu kekhusu’an ummat Hindu yang sedang melakukan tapa berata penyepian.

Hal itu tentunya merupakan wujud toleransi ummat Islam untuk menjaga keharmonisan antara ummat beragama.      

Dalam kaitannya dengan menahan diri dalam konteks puasa, Ummar bin Khattab menegaskan bahwa puasa tidak sekedar hanya menahan diri dari lapar dan dahaga saja, akan tetapi menahan diri dari berdusta dan berbuat bathil. 

Menahan diri berbuat bathil dapat diekspresikan dengan menjaga tolerasi antar ummat yang berbeda agama dan tidak saling mengganggu riual ibadah masing-masing. Sebab esensi ibadah puasa tidak hanya mejaga lapar dan dahaga saja, melainkan menjaga seluruh pikiran, perkataan, dan perbuatan agar selalu baik dan positif. 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya “Beberapa orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa (pahala), melainkan hanya lapar dan dahaga saja”. Artinya nila-nilai puasa yang sejatinya bertujuan untuk menjaga dan membentuk prilaku positif, seperti toleransi dan moderat tidak teraktualisaikan dengan baik, karena sebagian ummat Islam terjebak dalam ritual simbolik seperti tidak makan dan tidak minum.

Padahal pahala puasa yang sangat agung adalah ketika seorang muslim dapat menjaga lisan dan perbuatannya dari hal-hal yang negatif yang bisa berdampak pada dirinya dan orang lain.    

Momentum ibadah puasa harus dijadikan sebagai wahana untuk saling menjaga hubungan kemanusiaan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai toleransi dan perilaku moderasi selama menjalankan ritual agama. Pada dasarnya moderasi beragama mengajarkan bahwa setiap orang berhak mengamalkan ajaran agamanya tanpa perlu takut adanya gangguan dan intimidasi dari pihak lain. 

Yusuf Qardhawi dalam kitab “Kaifa Nata’ammal Ma’a al-Qur’an al-Azhim” menjelaskan bahwa keteladanan moderasi Islam didasarkan pada tiga unsur persaudaraan, yaitu persaudaraan sesama manusia (Ukhuwah Bashariyah), persaudaraan sesama muslim (Ukhuwah Islamiyah) dan persaudaraan kebangsaan (Ukhuwah Wathaniyah). Dalam konteks moderasi beragama, Yusuf Qardhawi menempatkan persaudaraan antara manusia (Ukhuwah Bashariyah) sebagai pilar utama terwujudnya harmonisasi dan toleransi antar ummat beragama dalam semua aspek kehidupan. 

Saling menghormati dan menghargai antara sesama manusia dalam segala urusan, termasuk urusan ibadah yang merupakan suatu hal yang sangat esensial dan dianjurkan untuk menjamin terwujudnya keharnomisan dan toleransi antar ummat beragama, terlebih di dalam bulan puasa ini. 

Bulan yang mengajurkan ummatnya untuk selalu berbuat baik dan beramal soleh, mengedepankan kesabaran dalam berinteraksi serta menebar cinta kasih antar sesama manusia.

*Spirit Moderasi Dalam Puasa Ramadhan*

Dalam puasa Ramadhan terdapat nilai-nilai moderasi beragama yang kaya dan dapat diaplikasikan dalam konteks berbangsa, bernegara dan beragama. Spirit moderasi dalam puasa Ramadhan adalah sebagai berikut: 

Pertama: Tawazun (seimbang), dalam menjalankan ibadah puasa, ummat Islam dilarang bermalas-malasan, tidak mau bekerja mencari nafkah, hanya fokus beribadah saja, tidak meperdulikan nafkah keluarga, atau sebaliknya hanya fokus bekerja saja mengejar keuntungan dunia semata dengan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas ibadah selama puasa. 

Dalam konteks ini, ummat Islam yang berpuasa diwajibkan untuk senantiasa menjaga keseimbangan (tawazun) rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa, umat Islam diajarkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada aspek material atau spiritual tertentu saja yang dapat berakibat hilangnya keseimbangan makna nilai puasa yang luas nan agung tersebut.  

Kedua: Tasammuh (toleransi), puasa mengajarkan toleransi dan saling menghargai antar sesama pemeluk agama dan yang berbeda agama. Puasa tahun ini mengajarkan spirit toleransi yang sangat tinggi, karena selain berbeda waktu pelaksanaan awal puasa antara pemerintah dengan organisasi kemasyarakatan lainnya, awal puasa juga dilaksanakan ketika ummat Hindu melaksanakan hari raya Nyepi. 

Tentunya hal tersebut berpengaruh terahadap aktifitas ritual ibadah puasa di bulan Ramadahan, dimana ummat Islam yang berdampingan hidup dengan ummat Hindu harus menahan diri atau toleransi untuk tidak menggunakan pengeras suara dalam tadarus al-Qur’an pada malam hari dan cukup melaksanakan sholat tarawih di rumah saja tidak keluar ke masjid demi menjaga toleransi antara ummat beragama.      

Ketiga: I’tidal, yang berarti tegak lurus, selalu berpihak pada kebenaran. Dalam berpuasa, implementasi dari selalu berpihak pada kebenaran adalah seorang muslim diwajibkan untuk  selalu berkata jujur, berkata baik dan menghindari kebohongan, kepalsuan, kepura-puraan dan kemunafikan. Selain itu, dalam berpuasa, seorang muslim dilarang menyebar fitnah, membicarakan aib seorang, baik secara verbal mapun melalui media sosial, seperti berita palsu atau hoaks yang dapat berpotensi menimbulkan ketersesatan sosial, konflik horizontal, 

Kebencian dan permusuhan di masyarakat. Praktik-praktik negatif tersebut harus dihindari selama menjalankan ibadah puasa karena bisa mengurangi pahala puasa dan menciderai nilai keagungan dan keluhuran dari ibadah puasa tersebut.

Keempat, Musawwah (persamaan), prinsip persamaan yang dimaksud dalam konteks ini memiliki hak yang sama, baik secara hukum dan secara sosial. Secara sosial, puasa mengajarkan ummat manusia memiliki derajat yang sama, serta mengajarkan manusia untuk selalu memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap sesama manusia, terutama mereka yang kurang mampu atau hidup dibawah garis kemiskinan.

Puasa mengajarkan untuk senatiasa bersodaqah dan berbagi kelebihan rizki kepada sesama yang membutuhkan, sebab sadaqah yang diberikan pada bulan puasa mendapat pahala yang berlipat ganda jika dibandingkan dengan bulan lainnya. Spirit berbagi yang diajarkan dalam ibadah puasa merupakan spirit yang lahir dari rasa empati dan rasa cinta kasih terhadap sesama manusia. Esensi ibadah puasa dalam konteks sosial adalah supaya dapat merasakan lapar dan dahaga sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang yang miskin dan peka terhadap kondisi sesama manusia. 


Oleh karena itu, spirit moderasi beragama yang terkadung dalam puasa Ramadhan dapat diinternalisasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan yang plural ini. Wallahu a’lam bishawab. 

0/Post a Comment/Comments