Pariwisata dan lokal wisdom: Pelajaran dari Kasus Villa Bukit Samudra


Oleh: 

( Satria Budi Kusuma, SH )

Aktivis Muda Sumbawa Barat

Opini -- Sumbawa Barat adalah salah satu daerah yang menyimpan kekayaan pariwisata alam luar biasa. Dari keindahan Pulau Kenawa dengan savananya, Pantai Maluk dan Sekongkang yang terkenal di kalangan peselancar, hingga Bukit Mantar yang mempesona, semua menjadi modal penting untuk mengembangkan sektor pariwisata sebagai pilar ekonomi baru di luar tambang.

Namun, potensi itu kini dihadapkan pada ujian serius. Kasus yang melibatkan seorang warga negara asing di Villa Bukit Samudra, Desa Kertasari, memperlihatkan rapuhnya hubungan antara investasi asing dengan masyarakat lokal. Tuduhan provokasi, arogansi, hingga tuntutan penutupan usaha dan deportasi menjadi bukti bahwa pembangunan pariwisata tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial, hukum, dan kearifan lokal.


pariwisata dan Risiko Sosial


Secara umum, investasi pariwisata selalu menjanjikan lapangan kerja dan perputaran ekonomi baru. Tetapi jika tidak ada keberpihakan nyata bagi masyarakat lokal, hasilnya justru melahirkan kesenjangan. Harapan warga agar dilibatkan dalam usaha wisata sering tidak terpenuhi. Ditambah lagi, perilaku investor atau wisatawan asing yang dianggap tak menghormati adat setempat, dapat memicu benturan budaya.


Konflik seperti ini jelas merugikan. Bagi wisatawan, kabar keributan membuat mereka ragu berkunjung. Bagi investor lain, ini menjadi peringatan bahwa keamanan sosial sama pentingnya dengan izin usaha. Bagi masyarakat, konflik menimbulkan luka sosial yang tidak ringan. Akibatnya, branding Sumbawa Barat sebagai destinasi wisata ramah bisa tercoreng.


Pandangan Hukum tentang PMA di Pariwisata


Dalam perspektif hukum, ada aturan yang jelas mengikat investor asing di sektor pariwisata. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menegaskan bahwa setiap penanam modal wajib menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar. Hal ini dipertegas pula dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang mewajibkan pelaku usaha menjaga norma agama, budaya, dan adat istiadat. Dengan kata lain, investasi asing tidak boleh berdiri di atas kepentingan komersial semata, tetapi harus tunduk pada local wisdom.


Selain itu, UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian memberi kewenangan kepada pejabat imigrasi untuk mendeportasi WNA yang menimbulkan keresahan publik. Jika benar ada provokasi atau tindakan arogansi yang memicu konflik sosial, maka secara hukum, tindakan administratif berupa deportasi bisa dibenarkan. Di sisi lain, pemerintah daerah, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, juga memiliki hak mengevaluasi bahkan mencabut izin usaha pariwisata yang melanggar ketentuan dan merugikan masyarakat.


Dengan dasar hukum ini, kasus Villa Bukit Samudra bukan sekadar gesekan sosial, melainkan bisa dipandang sebagai pelanggaran kewajiban hukum dalam bidang investasi dan kepariwisataan. Maka, penyelesaiannya harus tegas, agar ke depan investor memahami bahwa membangun usaha di sektor pariwisata berarti juga membangun harmoni dengan masyarakat.


Pentingnya Local Wisdom


Dalam masyarakat Sumbawa Barat, nilai-nilai adat dan local wisdom adalah pondasi kehidupan. Inilah yang seharusnya menjadi dasar pembangunan pariwisata. Investor yang hadir wajib menghormati norma setempat, sementara pemerintah daerah perlu memastikan bahwa regulasi pariwisata berpihak pada masyarakat. Tanpa itu, pariwisata akan menjadi pemicu resistensi, bukan kesejahteraan.


Sinergi dan Regulasi


Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, penerapan perjanjian manfaat komunitas (community benefit agreement) sehingga setiap investor memiliki kewajiban jelas terhadap tenaga kerja lokal, UMKM, dan pembangunan desa. Kedua, penyusunan kode etik wisata berbasis adat yang menjadi pedoman resmi bagi pengelola dan wisatawan. Ketiga, pembentukan forum mediasi tripartit (pemerintah, masyarakat, investor) agar setiap potensi konflik bisa diredam sejak awal.


Dengan mekanisme ini, pariwisata dapat benar-benar menjadi sektor yang inklusif, bukan hanya menguntungkan segelintir pihak.


Kasus Villa Bukit Samudra hendaknya menjadi pelajaran. Sumbawa Barat bisa dan harus maju di sektor pariwisata, tetapi keberhasilan itu hanya mungkin jika local wisdom dijadikan fondasi utama. Investor asing perlu belajar menghormati budaya lokal, masyarakat diberdayakan secara nyata, dan pemerintah berperan sebagai pengatur yang adil.


Dengan sinergi yang kuat serta penegakan hukum yang konsisten, Sumbawa Barat bukan hanya menjaga keharmonisan sosial, tetapi juga membangun citra pariwisata yang berkelanjutan dan bermartabat

0/Post a Comment/Comments